AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Peran Agama

  • Admin Humas
  • Kamis, 01 Februari 2024
  • 872 Tampilan

Oleh Prof. H. Wan Jamaluddin Z, Ph.D

Rektor Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung 

Ketegangan agama-agama masih terjadi di berbagai belahan dunia. Tidak sedikit ketegangan itu mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan tercabiknya rasa kemanusiaan. Sehingga setiap Negara dan tokoh-tokoh agama perlu melakukan langkah-langkah strategis dengan melakukan pemetaan doktrin ajaran agama sekaligus melakukan definisi ulang terhadap peran agama untuk mengakhiri ketegangan agama dan kemanusiaan global sekaligus terwujudnya perdamaian dunia. Sebab, agama pada dasarnya mengakui dan mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada sesama. Akan tetapi ajaran-ajaran tersebut kemudian didistorsi oleh sebagian penganutnya sehingga mengakibatkan ketegangan dan konflik antar agama di dunia.

Kementerian Agama menjadi salah satu lembaga yang berperan penting dalam merawat keberagaman serta terwujudnya harmoni dunia. Indonesia sudah saatnya mengambil peran yang lebih besar dalam mewujudkan perdamaian dunia di tengah konflik yang terjadi di berbagai Negara, terlebih perdamaian di antara negara-negara yang mayoritas umat Islam.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia mempunyai tanggung jawab tersendiri. Indonesia bahkan bisa menjadi model bagaimana kehidupan keagamaan, bagaimana Islam di Indonesia bisa hidup berdampingan dengan agama-agama lain. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bagaimana nilai-nilai Islam dengan demokrasi bisa berjalan seiringan. Juga tentang bagaimana Islam bisa menghormati Hak Asasi Manusia, bagaimana Islam bisa hidup di tengah keragaman. 

Dari AICIS 2000 ke-2024

Salah satu ajang untuk berkontribusi dalam perdamaian dunia adalah Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS). Kegiatan yang sudah diselenggarakan sejak 2000 ini merupakan kegiatan conference yang cukup prestisius tentang Islamic Studies. Sejak awal, AICIS lahir dari sebuah refleksi dan pemikiran tentang interaksi antara kajian agama dengan berbagai tantangan kemanusiaan saat ini. Setiap tahun, isu-isu yang di bahas juga selalu berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan problem dunia yang sedang terjadi.

Pada AICIS ke-23, akan digelar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, pada 1 – 4 Februari 2024. Selain akademisi, hadir juga para tokoh agama dari sejumlah negara. Mereka akan mendiskusikan beragam persoalan kontemporer dalam bingkai tema ‘Redefining The Roles of Religion in Addressing Human Crisis: Encountering Peace, Justice, and Human Rights Issues’. Panitia telah menyeleksi 1.957 artikel yang dikirim calon peserta konferensi, hingga terpilih 328 paper terbaik. Para penulis berasal dari 10 negara, yaitu Afghanistan, Armenia, Mesir, Indonesia, Irak, Malaysia, Moroko, Nigeria, Pakistan, dan Sri Lanka. Mereka terbagi dalam tiga kelompok, Invited Papers (80), Open Panel (100), dan Extended Panel (148).

AICIS 2024 ini bertujuan untuk mendefinisikan kembali peran agama, terutama Islam, dalam menghadapi tantangan kemanusiaan kontemporer di kancah global. Termasuk peran dalam menguatkan persaudaraan kemanusiaan. Setidaknya ada tujuh isu atau sub tema yang akan dibahas, yaitu 1) Agama, Nasionalisme, dan Kewarganegaraan di Asia Tenggara; 2) Dampak Isu dan Ketegangan Keagamaan Internasional terhadap Nasionalisme, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi Manusia; 3) Krisis Kesetaraan, Keadilan, dan Kemanusiaan; 4) Ketegangan Agama dan Kemanusiaan Global; 5) Isu Gender, Spiritualitas, dan Minoritas; 6) Fiqih Siyasah tentang Perang dan Damai: Pasca Kolonial; dan 7) Kebijakan berbasis Maslahah Mursalah, Kesetaraan, dan Pemberdayaan.

Isu besarnya adalah peran agama dalam menguatkan nasionalisme, merespons krisis keadilan dan kesetaraan, masalah gender, serta kemaslahatan umat, termasuk yang berkenaan dengan krisis iklim. Ada 25 sesi panel yang disiapkan panitia untuk mendiskusikan isu-isu yang menjadi sub tema. Para akademisi, dalam dan luar negeri, akan hadir dan ikut sumbang pemikiran. Antara lain adalah Dr. (HC). K.H Yahya Cholil Staquf (Nadhlatul Ulama Central Board), Prof. Dr. Ismail Fajrie Alatas (New York University), Prof. Rahimin Afandi bin Abdul Rahim (Universitas Malaya), Prof. Dr. Claudia Saise (Humboldt-Universität zu Berlin), Prof. Dr. Dora Marinova (Curtin University, Australia), Prof. Dr. Abdul Djamil, MA (State Islamic University Walisongo Semarang, Indonesia), Prof. Dr. Kamaruzaman (Asian Muslim Action Network), Prof. Dr. Hassanein Al-Saeed Hassanein Ahmed (Suez Canal University, Egypt), Prof. Madya Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni (Universiti Islam Sultan Sharif Ali Brunei Darussalam), Assistant Professor Dr. Jassim Mohammed Harjan (University of Baghdad, Iraq), Fazlur Rahman bin Kamsani (Middle East Institute National University of Singapore), dan Dr. Fatma Mohamed Mansour (Suez Canal University).

Berbeda dengan penyelenggaraan tahun lalu, AICIS 2024 akan diperkuat dengan adanya temu para pemuka/pemimpin lembaga keagamaan atau religious leaders summit. Sebanyak 14 tokoh agama dari berbagai negara terkonfirmasi hadir, yaitu KH. Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Pimpinan PP Muhammadiyah (Indonesia), Prof. Philip Kuntjoro Widjaja (Indonesia), Mayor Jenderal TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, S.I.P. (Indonesia), Venerable Dr. Vanh Keobundit (Laos), Venerable Dr. Yon Seng Yeath (Cambodia), Mr. Bounthavy Phonethasin (Laos), YB Datuk Dr. Hasan bin Bahrom (Malaysia), Phra Dr. Anilman Dhammasakiyo (Thailand), Pdt. Gomar Gultom (Indonesia), Romo Hery Wibowo (Indonesia), Ws. Andi Gunawan, ST (Indonesia), Dr. A. Elga J. Sarapung (Indonesia), dan Bishop Pablo Virgilio Siongco David (Philippines).

Para tokoh ini akan ikut serta dalam membahas solusi atas serangkaian persoalan kontemporer dari perspektif keagamaan. Ini sejalan dengan COP28 di Dubai pada akhir 2023 yang juga mulai melibatkan tokoh agama dalam pembahasan krisis iklim. 

Keberanian Meredefinisi Peran Agama

Ketegangan antara agama dan kemanusiaan sering kali muncul karena perbedaan keyakinan, nilai, dan praktik antara kelompok agama atau antara agama dan pandangan sekuler atau humanistik. Padahal agama menuntut pemeluknya untuk memiliki moral yang baik, melakukan beribadah, larangan melakukan pembunuhan, saling menghina serta perintahuntuk hidup berdampingan. Berlaku adil terhadap pemeluk agama yang berbeda dan menjalin kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan secara toleran menjadi ajaran moral yang sangat dijunjung tinggi. Ajaran moral mampu menghantarkan pemeluknya yang berbeda agama agar saling menghormati dan menghargai sesama manusia.

Memang, tidak mungkin memandang semua agama sama, karena pada kenyataannya agama memang memiliki perbedaan dalam berbagai hal, termasuk yang prinsipil (akidah-syariah), akan tetapi memberikan pengakuan serta memberikan hak kepada masing-masing agama untuk berkembang dan ruang kebebasan bagi pemeluknya untuk menjalankan perintah agama adalah dibolehkan di dalam agama masing-masing.

Setiap agama pastilah mengajarkan cinta kasih, saling tolong menolong, berbuat baik pada sesama manusia, dan lainnya dalam rangka membangun kebersamaan dan kedamaian umat manusia. Sebagai ajaran moral untuk mempromosikan sinergisitas dan dialog agama-agama samawi perlu ada etika global dengan metode dialog antar agama.  Tidak membuat semua agama menjadi satu, tapi menggambarkan suatu kesepakatan standar minimal yang berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat dan sikap moral yang dapat diterima oleh semua agama terlepas dari perbedaan-perbedaan dogmatis mereka. Membuat konsensus dasar minimal yang memungkinkan para pengikut agama-agama untuk bersatu sambil pada saat yang sama menjadi yang lain atau tidak harus melepas identitas pribadinya. Terlepas dari keragaman ide dan praktik keagamaan yang ditemukan dari agama-agama besar dunia, ada suatu kesepakatan bahwa perlunya agama-agama di dunia untuk bekerja sama bagi perdamaian dunia.

Ajaran moral agama adalah menghormati dan menghargai manusia sebagai ciptaan Tuhan dengan tidak melihat latar belakang perbedaan agama, ras dan kelas sosialnya. Artinya, agama tidak boleh membagi manusia menurut perbedaan kaya-miskin, kedudukan-derajat dalam masyarakat, bahkan membuang dan meniadakan sentimen primordialisme. Semua manusia, walaupun berbeda agama dan cara penyembahan, mempunyai kesamaan yang universal, sama kedudukannya di hadapan Tuhan, sebagai hamba. Di samping melayani umat manusia, agama mempunyai kesempatan untuk menata interaksi kehidupan umat yang berbeda agama secara harmonis dan toleran untuk kemaslahatan bersama.

Seruan Islam untuk bekerja sama dengan umat lain adalah perintah membangun semacam tata nilai sosial dan moral yang dapat menciptakan kedamaian bersama bagi kehidupan di dunia. Agama dipeluk dan dihayati sebagai pedoman hidup yang akhirnya menjelma menjadi sebuah budaya. Bahkan secara ekstrem para ahli kebudayaan memasukkan agama dalam wilayah unsur-unsur kebudayaan. Agama diperlukan dalam kehidupan berbudaya untuk memberi arah kesadaran etik, agar kebudayaan lebih bermakna dan memiliki inspirasi yang substantif. Sementara itu agama juga memerlukan medium budaya agar bisa eksis dalam kehidupan manusia, sebab agama hanya bisa diwujudkan secara nyata dalam kehidupan budaya. Manusia lahir, hidup, dan mati selalu mencari makna, baik untuk awal maupun untuk akhir hidupnya.

Perbedaan agama perlu diterima dan dihayati sebagai pernyataan dan perwujudan kekayaan rahmat Allah. Sebenarnya Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk menempatkan manusia dalam satu agama, satu keyakinan. Tetapi, mengapa Allah tidak melakukan hal tersebut? Bahkan Allah sendiri menciptakan pluralitas? Di sini kita sadari bahwa penerimaan dan penghayatan terhadap perbedaan agama sebagai kekayaan rahmat Allah merupakan sebuah kesinambungan yang diciptakan Tuhan. Bersama rahmat-Nya yang kaya, Allah menyapa manusia dalam konteksnya yang paling kongkret dengan latar belakang sejarah, lingkungan dan keyakinan serta kepercayaan hidupnya.

Pluralitas beragama bahkan telah menjadi realitas niscaya yang kongkret sebagai kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk hidup bersama, saling melengkapi dan saling memperkaya wawasan religiusitas-spiritual. Bukankah perbedaan di antara umat adalah sebagai rahmat? Itulah pertanyaan dan anjuran Allah melalui firman-Nya yang harus kita renungkan untuk memahami makna sejatinya. Kesadaran akan pluralitas agama akan mengantarkan kita pada titik temu agama yang eksoterik, namun memandangnya sebagai esoteris, sekaligus menyadari segi-segi agama yang bersifat relatif, namun mengandung sebagai absolut. Di sinilah terdapat dinamika kehidupan beragama. Dinamika kehidupan beragama merupakan sebuah perwujudan fungsional umat beragama dalam menghayati ajarannya. Kehidupan agama yang dinamis merupakan faktor dasar yang bersifat menentukan terwujudnya stabilitas nasional, persatuan, kerukunan, perdamaian, dan ketenangan hidup. Kehidupan beragama yang dinamis tentu saja akan membawa manfaat yang sangat besar.

Keberanian melakukan definisi ulang terhadap peran agama dapat diartikan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali atau menyesuaikan kembali ajaran atau prinsip-prinsip agama dengan konteks zaman atau kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Istilah ini mencerminkan usaha untuk memahami dan menerapkan ajaran agama secara relevan dalam situasi baru atau perubahan-perubahan sosial, budaya, atau politik. Ketika ada doktrin agama yang mengajarkan permusuhan dan bertentangan dengan nilai-nilai kasih sayang sesama manusia maka dengan sendirinya doktrin tersebut sudah berakhir,  batal dan kadaluwarsa  dengan datangnya tafsir dan definisi baru yang lebih maslahat untuk perdamaian dan kemanusiaan di muka bumi. Perlu terus dibuka ruang dialog dan kerja sama lintas agama dengan menganut prinsip-prinsip kebenaran universal dan toleransi. Tidak anarkis dalam menyelesaikan konflik dan saling memberi rasa aman dalam ruang perbedaan. Dengan begitu maka tercipta tatanan perdamaian dunia bagi kebaikan bersama seluruh umat manusia sehingga bisa mengakhiri ketegangan agama dan kemanusiaan global.