Intellectuality, Spirituality, Integrity

Dinamika Kepemimpinan dan Resistensi Sosial

  • Admin Humas
  • Senin, 24 Februari 2025
  • 94 Tampilan
Muhamad Bisri Mustofa
oleh Muhamad Bisri Mustofa
Dosen UIN Raden Intan Lampung

Kepemimpinan nasional dalam sistem demokrasi menghadapi tantangan besar dalam memastikan bahwa kebijakan yang dibuat di tingkat pusat dapat diimplementasikan dengan efektif di daerah. Program retret kepala daerah yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto menjadi bagian dari upaya memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan visi pembangunan nasional. Namun, kebijakan ini hadir di tengah lanskap politik yang dinamis, di mana resistensi publik, termasuk demonstrasi mahasiswa, menjadi bagian dari dialektika demokrasi.

Linierisasi program pemerintah, yakni upaya menyelaraskan kebijakan nasional dengan pelaksanaannya di daerah, menjadi strategi penting dalam membangun pemerintahan yang efektif. Namun, komunikasi politik yang hanya bersifat top-down berpotensi menimbulkan jarak antara penguasa dan rakyatnya. Dalam konteks ini, pendekatan komunikasi interpersonal dan dialogis menjadi krusial untuk memastikan bahwa kebijakan tidak hanya berjalan di atas kertas tetapi juga diterima oleh masyarakat.

Retret Kepala Daerah sebagai Upaya Linierisasi Program Pemerintah

Retret kepala daerah merupakan strategi komunikasi politik yang bertujuan untuk menyamakan persepsi dan membangun keselarasan dalam implementasi kebijakan nasional. Dalam perspektif Teori Komunikasi Linear yang dikemukakan oleh Shannon & Weaver (1949), komunikasi dalam pemerintahan sering kali berjalan secara satu arah, di mana pesan dari pemerintah pusat diteruskan ke daerah dengan harapan dapat dieksekusi secara optimal. Namun, dalam praktiknya, transmisi pesan ini tidak selalu berjalan mulus karena adanya noise berupa perbedaan kepentingan politik, kondisi sosial ekonomi daerah, serta keterbatasan sumber daya.

Retret ini menjadi medium untuk mengurangi gangguan komunikasi tersebut dengan menciptakan ruang bagi kepala daerah untuk memahami lebih dalam visi pemerintah pusat serta mendapatkan arahan yang lebih konkret. Dengan adanya interaksi langsung dalam lingkungan yang lebih santai dan non-formal, retret dapat meningkatkan efektivitas komunikasi interpersonal serta memperkuat hubungan antara pusat dan daerah.

Komunikasi Dialogis dalam Pemerintahan

Meskipun retret ini dapat menjadi alat efektif dalam menyelaraskan kebijakan, keberhasilannya bergantung pada sejauh mana komunikasi yang dibangun bersifat dialogis. Dalam TeoriKomunikasi Dialogis yang dikembangkan oleh Paulo Freire (1970), komunikasi yang ideal adalah komunikasi dua arah yang memungkinkan semua pihak terlibat dalam proses penyampaian dan penerimaan pesan. Jika retret ini hanya dijadikan sebagai forum instruksi satu arah, maka efektivitasnya dalam membangun keselarasan kebijakan dapat berkurang.

Pendekatan dialogis ini memungkinkan kepala daerah untuk tidak hanya memahami arahan dari pemerintah pusat, tetapi juga menyampaikan tantangan yang mereka hadapi di daerah masing-masing. Dalam konteks ini, retret kepala daerah dapat menjadi forum pertukaran pengalaman dan strategi untuk mengatasi hambatan dalam implementasi kebijakan. Dengan demikian, retret tidak hanya menjadi ajang penyampaian instruksi tetapi juga wadah bagi pemerintah untuk mendengar dan menyesuaikan kebijakan dengan realitas di lapangan.

Reduksi Ketidakpastian dalam Kepemimpinan Daerah

Salah satu tantangan yang dihadapi kepala daerah yang baru dilantik adalah ketidakpastian dalam memahami kebijakan pusat dan bagaimana kebijakan tersebut dapat diimplementasikan di daerah masing-masing. Teori Reduksi Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory) yang dikemukakan oleh Berger & Calabrese (1987) menjelaskan bahwa dalam situasi baru, individu cenderung mencari informasi untuk mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan pemahaman mereka terhadap lingkungan yang dihadapi.

Dalam konteks pemerintahan, kepala daerah yang baru menjabat membutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang strategi pembangunan nasional. Retret kepala daerah dapat berfungsi sebagai mekanisme untuk mengurangi ketidakpastian ini dengan memberikan akses langsung kepada informasi kebijakan serta peluang untuk berinteraksi dengan pejabat pusat yang bertanggung jawab atas implementasi program nasional. Dengan demikian, retret menjadi forum penting dalam memastikan bahwa kepala daerah memiliki pemahaman yang jelas dan komprehensif tentang peran mereka dalam menjalankan kebijakan pemerintah pusat.

Dinamika Resistensi Publik dan Demonstrasi Mahasiswa

Di sisi lain, upaya linierisasi program pemerintah sering kali mendapatkan respons dari publik dalam bentuk resistensi sosial, termasuk demonstrasi mahasiswa. Resistensi ini dapat dipahami melalui Teori Konstruksi Sosial Realitas yang dikembangkan oleh Berger & Luckmann (1966). Teori ini menjelaskan bahwa realitas sosial tidak bersifat objektif tetapi dibangun melalui interaksi sosial yang terus-menerus. Dalam konteks pemerintahan, persepsi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah sangat dipengaruhi oleh wacana publik yang berkembang, baik melalui media massa maupun media sosial.

Demonstrasi mahasiswa dengan hastag #IndonesiaGelap, misalnya, bukan sekadar bentuk penolakan terhadap kebijakan tertentu tetapi juga merupakan ekspresi dari konstruksi sosial yang berkembang di kalangan akademisi dan aktivis. Mahasiswa sering kali melihat kebijakan pemerintah melalui lensa yang berbeda dibandingkan dengan pejabat pemerintahan. Jika komunikasi antara pemerintah dan masyarakat tidak berjalan dengan baik, maka resistensi terhadap kebijakan akan semakin kuat.

Untuk mengatasi resistensi ini, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan komunikasi yang lebih terbuka dan transparan. Selain komunikasi politik formal, pemerintah juga perlu membangun komunikasi interpersonal dengan berbagai kelompok masyarakat untuk menjelaskan urgensi kebijakan yang diambil serta memberikan ruang bagi diskusi yang konstruktif. Dengan demikian, linierisasi program pemerintah tidak hanya berjalan melalui mekanisme birokrasi tetapi juga didukung oleh partisipasi publik yang lebih luas.

Membangun Kepercayaan antara Pemerintah dan Masyarakat

Kepercayaan merupakan elemen fundamental dalam komunikasi pemerintahan. Menurut Teori Komitmen dan Kepercayaan dalam Hubungan Organisasi, keberhasilan suatu kebijakan sangat bergantung pada tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat (Morgan & Hunt, 1994). Dalam konteks pemerintahan, kepercayaan ini harus dibangun melalui transparansi, akuntabilitas, serta komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat.

Retret kepala daerah merupakan salah satu cara untuk membangun kepercayaan di tingkat pemerintahan. Namun, agar kebijakan yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat, pemerintah juga perlu mengadopsi strategi komunikasi yang lebih luas, termasuk dengan melibatkan kelompok-kelompok sosial yang kritis terhadap kebijakan yang diambil. Dengan komunikasi yang lebih inklusif, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat diperkuat, sehingga implementasi kebijakan menjadi lebih efektif dan minim resistensi.

Program retret kepala daerah yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto merupakan langkah strategis dalam memastikan bahwa kebijakan nasional dapat diimplementasikan dengan baik di daerah. Dari perspektif komunikasi, retret ini berfungsi untuk menyamakan persepsi, mengurangi ketidakpastian, serta memperkuat koordinasi antara pusat dan daerah.

Namun, keberhasilan linierisasi program pemerintah tidak hanya bergantung pada komunikasi instruktif dari pusat ke daerah tetapi juga pada komunikasi yang bersifat dialogis dan partisipatif. Resistensi publik, seperti demonstrasi mahasiswa, mencerminkan adanya konstruksi sosial yang berbeda terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu membangun komunikasi yang lebih inklusif agar kebijakan yang diambil dapat diterima secara lebih luas oleh masyarakat.

Dengan strategi komunikasi yang efektif, baik melalui retret kepala daerah maupun interaksi langsung dengan masyarakat, pemerintah dapat memperkuat legitimasi dan efektivitas kebijakannya, sehingga pembangunan nasional dapat berjalan secara lebih optimal dan berkelanjutan.