Intellectuality, Spirituality, Integrity

Kepala Daerah dan Wawasan Multikultural

  • Admin Humas
  • Rabu, 05 Maret 2025
  • 116 Tampilan
Prof. Dr. H. Idrus Ruslan, M.Ag.
Wakil Rektor III UIN RIL dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Prof. Dr. H. Idrus Ruslan, M.Ag.
Wakil Rektor III UIN RIL dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama

Sejak dilantik tanggal 20 Februari 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto, semua kepala daerah memiliki kekuatan hukum secara legal formal untuk melakukan aktivitas pembangunan di daerahnya.  Begitu juga dengan dilaksanakan retret di Magelang yang bertujuan membangun soliditas serta kesiapan Kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah masing-masing. Dengan pembekalan ini, diharapkan para kepala daerah memahami visi kepemimpinan nasional, meningkatkan sinergi dengan pemerintah pusat, serta memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif.  Retret ini juga menjadi ajang bagi para kepala daerah untuk membangun jaringan dan mempererat koordinasi antar wilayah. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang diterapkan di daerah dapat lebih selaras dengan strategi pembangunan nasional.

Itu semua, sejatinya menjadi modal  dan spirit integritas serta wawasan yang luar biasa bagi seluruh kepala daerah dalam mengemban amanah dari masyarakat. Karenanya tidak berlebihan jika masyarakat pun sangat berharap munculnya gagasan progresif pembangunan di segala bidang.

Kepala daerah merupakan seorang yang diberi tugas dan wewenang oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang untuk memimpin suatu daerah atau wilayah baik ditingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota yang merupakan hasil dari proses pemilihan secara demokratis, sebagaimana termaktub dalam penjelasan UUD 1945, khususnya pasal 18 ayat 4.  Secara normatif, amanah dan kepercayaan yang diserahkan masyarakat terhadap seorang kepala daerah haruslah dijalankan dengan spirit yang kuat dan tinggi serta bertanggung jawab untuk mensejahterakan dan memajukan masyarakat dan derah.

Sebagai negara yang multikultural yang memiliki berbagai keanekaragaman baik etnis, budaya, agama, ras dan pandangan politik, maka kepala daerah hendaknya pula memiliki wawasan tentang keanekaragaman (pluralitas).  Pemahaman terhadap berbagai macam latarbelakang masyarakat di wilayahnya, amatlah penting, agar Kepala daerah dapat menyelami bahkan merasakan keinginan dan harapan masyarakat hingga bermuara pada penetapan kebijakan, regulasi, peraturan daerah dan lain-lain pun berbasis keinginan masyarakat.

Apalagi semenjak reformasi yang mengamanatkan otonomi daerah, Kepala daerah diberikan wewenang Pemerintah Pusat untuk mengelola potensi daerah masing-masing secara efektif.  Disatu sisi, adanya otonomi daerah memberikan keluasan Kepala daerah untuk mengelola sumber daya ekonomi, namun disisi lain perlu kebijakan yang tidak bertentangan dengan semangat reformasi.

Wawasan Multikultural

Istilah multikultural atau multikulturalisme digunakan pertamakali pada 1957 untuk menggambarkan fenomena keagamaan budaya imigran yang terjadi di negara Swiss.  Kemudian pada 1960 konsep ini digunakan di Kanada hingga menyebar di berbagai negara.  Dalam  the columbia electronic encyclopedia, pengertian multikulturalisme merupakan sebuah istilah yang menjelaskan koeksistensi dari bermacam budaya yang terdapat pada suatu tempat tanpa adanya satu budaya yang mendominasi.

Sedangkan, dalam perspektif Islam, multikultural juga dapat dipahami sebagai sebuah pengakuan akan adanya keanekaragaman yang ada pada masyarakat; suku, agama, ras dan antar golongan, karena sesungguhnya keanekaragaman merupakan dekrit serta design dari yang Maha Kuasa.  Karena itu, tidak ada pilihan bagi manusia selain merespon segala macam multikultural tersebut secara aktif, positif, dan kreatif.  Karenanya, pemahaman terhadap multikulral secara komprehensif, maka sesungguhnya turut pula melahirkan rasa cinta tanah air, persatuan, toleransi, keadilan dan kebersamaan.  Dari sini pula memunculkan wawasan kesamaan dan kesederajatan atau dengan kata lain bahwa masing-masing entitas memberikan pengakuan (recognition) terhadap entitas lain.

Islam memandang bahwa salah satu tanggung jawab manusia yakni sebagai Khalifah fi al-ardh (Pemimpin di Muka Bumi), maka tentu saja harus bersikap adil terhadap bawahan, rakyat atau masyarakat yang sangat beragam dan kompleks.

Dalam hal ini, seorang kepala daerah tidak hanya dituntut memiliki wawasan konsitusi dan regulasi tentang pengelolaan ekonomi namun juga dibutuhkan aspek lain, dimana salah satunya adalah pemahaman tentang multikultal.  Hal tersebut dibutuhkan karena manusia yang berbeda-beda latar belakang tersebut sesungguhnya bukanlah menjadi penghalang untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi atau dalam bahasa Islam; bersilaturahmi.  Semua itu adalah fitrah manusia yang diciptakan sebagai makhluk sosial sebagaimana yang ditegaskan oleh sosiologi Muslim terkenal Ibnu Khaldun dalam magnum opusnya Muqaddimah.

Wawasan multikultural menjadi penting bagi seorang Kepala daerah, sehingga setiap visi, kebijakan, serta regulasi yang disampaikan berorientasi dan bersesuaian dengan keinginan masyarakat sehingga tidak mengakibatkan kesalahpahaman oleh masyarakat.  Hal tersebut dikarenakan Kepala daerah telah memahami betul aspek-aspek lokal; bahasa, falsafah hidup, perbedaan agama dan keyakinan, bahkan hukum-hukum adat yang ada pada masyarakat.

Dekonfessionalisasi

Perlu ditegaskan bahwa seharusnya tidak perlu muncul kekhawatiran terhadap adanya keanekagaman atau multikultural, karena sesungguhnya hidup dalam keragaman (heterogenitas) justru menimbulkan berbagai macam aspek dan potensi yang ada pada individu maupun kelompok masyarakat, dibandingkan dengan hidup dalam kesamaan (homogenitas), karena hidup dalam kesamaan secara tidak disadari akan menanggalkan semangat kompetisi bahkan cenderung menjadi masyarakat yang pasif dan inferior.

Menurut C.A.O Van Nieuwenhuijze, teori dekonfessionalisasi diambil dari praktik masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial keagamaan yang berbeda, lalu mereka merelakan diri untuk saling berinteraksi.  Namun dalam interaksi tersebut tetap loyal terhadap tradisi, agama, juga keyakinan mereka.  Hal tersebut dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama.

Argumen yang cukup beralasan dalam menunjang keterkaitan teori ini dengan kondisi Indonesia setidaknya dapat dilihat dari fakta dan realita kompleksitas latarbelakang masyarakat Indonesia.  Teori ini pun dikategorisasikan sebagai himbauan kepada masyarakat untuk mempertemukan garis-garis eksklusivitas sosial keagamaan untuk dicarikan jalan keluar menuju inklusivitas.

Perilaku tersebut, sesungguhnya telah termaktub pada Ketetapan MPR RI tahun 2001 tentang etika kehidupan beragama yang pada pendahuluannya dijelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan dan sebagainya disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinnekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa.  Oleh karena itu, ide-ide universal dalam ketetapan MPR tersebut tidak hanya cukup disusun dan dikodifikasi dalam sebuah naskah peraturan, tetapi harus menjadi bagian dari kesadaran kognitif secara kolektif sehingga mewarnai perilaku politik semua warga negara, termasuk di dalamnya Kepala daerah dan juga masyarakat yang ada di wilayahnya.

Hanya dengan adanya kerelaan dan keikhlasan masing-masing kelompok masyarakat untuk mencapai cita-cita bersama, maka segenap potensi yang ada pada masyarakat seluruhnya dapat diorientasikan dalam rangka pembangunan daerah seutuhnya secara cepat.  Perbedaan berbagai macam latar belakang yang ada pada masyarakat tentu bukanlah untuk dihilangkan – karena itu adalah suatu yang tidak mungkin -, akan tetapi perbedaan tersebut diletakkan pada ranah intern dan privat, sedangkan dalam pada ranah publik, klaim kebersamaanlah yang dimunculkan dengan tetap komitmen akan jati diri masing-masing.

Pentingnya Etika Politik

Tidak sedikit pendapat yang menganggap bahwa etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang perilaku manusia. Pernyataan tersebut jika merujuk pada konsep ilmu secara asal muasal dan pada skup pembahasan semata, maka akan bisa diterima.  Namun etika disini adalah dihubungkan dengan norma baik itu yang berlaku di masyarakat mau pun agama (Islam).

Secara umum dapat dikatakan bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip etika berpolitik, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an. Pertama, dalam kaitannya dengan menjaga hubungan antara kepala negara dengan rakyat meliputi kewajiban kepala negara: untuk bermusyawarah dengan warga; menegakkan keadilan; menjaga ketentraman; golongan minoritas memiliki hak yang sama dari segi undang-undang. Kedua, kewajiban rakyat meliputi antara lain taat yang bersyarat; bermusyawarah, menjaga mutu moral dan semangat rakyat. Ketiga, hubungan luar negeri, meliputi hubungan antara negara Islam dengan non-Islam, cinta damai, tanpa paksaan dalam memeluk agama, patuh pada perjanjian yang sudah disepakati, sabar dan mengajak sabar, dan menjaga persaudaraan.

Secara normatif, argument tersebut memberikan pemahaman bahwa dalam Islam, politik harus mengacu kepada garis-garis yang telah ditentukan oleh syari’at sehingga akan berdampak pada syiar Islam, serta mendukung kebutuhan dan masa depan umat baik dari segi kesehatan, keselamatan, politik, pendidikan dan ekonomi.  Hal tersebut bermakna bahwa produk-produk hukum dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau pemimpin haruslah diorientasikan serta mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.

Penegasan ini perlu dimaklumi oleh semua orang – khususnya para pemegang kekuasaan – dikarenakan dalam tradisi Islam dimengerti bahwa setiap manusia sesungguhnya adalah seorang pemimpin (dalam arti luas), maka Islam pula akan menagih pertanggungjawaban dari kepemimpinan yang ada pada manusia.  Dengan kata lain, dalam pandangan Islam segala macam perilaku dan aktivitas manusia tidak ada yang lepas begitu saja, namun semuanya akan dipertanggunjawabkan dihadapan Sang Maha Kuasa. 

Namun demikian, manusia sebagai makhluk yang memiliki keyakinan/agama (Islam), maka paling tidak etika maupun perilaku politik haruslah berdasarkan ketuhanan.  Dengan dasar maupun orientasi tersebut, maka etika dan perilaku politik individu maupun kelompok tidaklah hampa dari nilai-nilai religious, sehingga akan berdampak positif terhadap cara memperlakukan individu maupun kelompok lain, akan mengedepankan persatuan, mengutamakan musyawarah serta akan bertindak adil.

Seorang Kepala daerah merupakan pemimpin yang berada dalam skup wilayah yang betul-betul harus memiliki paradigma dan mindset yang general.  Maknanya, meskipun pada awalnya kandidat kepala daerah dipilih berdasarkan mekanisme Pemilihan Umum Kepada Daerah, yang dalam praktiknya sangat boleh jadi terdapat kelompok lain yang tidak berpihak kepada seorang kandidat.

Namun, ketika hajat demokrasi Pilkada telah selesai, maka sesungguhnya kandidat yang terpilih merupakan pemimpin bagi seluruh masyarakat yang ada pada suatu wilayah tersebut.  Oleh karenanya harus didukung oleh setiap elemen masyarakat, begitu juga sebaliknya, bagi Kepala daerah yang terpilih dan dilantik menjadi pemimpin bagi seluruh masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya menjadi pemimpin bagi daerah yang menjadi basis suara pemilih.

Aspek lain juga bisa dihubungkan yakni sejauh mana seorang Kepala daerah memiliki wawasan multikultural.  Hal ini diperlukan agar kepala daerah tidak hanya mengeluarkan kebijakan bagi daerah yang memiliki kesamaan identitas.  Namun kepala daerah mampu melampaui itu semua dengan membuat kebijakan bagi semua tanpa berafiliasi pada identitas tertentu.  Fenomena tersebut dapat dihubungkan dengan konsep etika publik yang ini bisa dijadikan sebagai tolok ukur bagi kepala daerah. 

Dengan merujuk pada TAP MPR diatas, bahwa etika politik dan pemerintahan (termasuk Pemerintah Daerah) diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemajuan bangsa dan negara (sudah pasti kemajuan daerah).

Oleh karena itu menjadi suatu yang sangat urgent bagi kepala daerah agar memiliki wawasan tentang multikultural, karena merupakan salah satu modal terciptanya pemerintahan yang baik dan akomodatif sehingga mendudukkan masyarakat sebagai warga negara yang memiliki kesamaan hak, tanggung jawab dan kewajiban.

Selain memiliki wawasan tentang multikulturalisme, kepala daerah juga dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan komunikasi antar budaya.  Di samping bahwa komunikasi merupakan hal yang alami dan merupakan sifat bawaan bagi setiap orang, tetapi komunikasi juga – terutama komunikasi antar budaya – merupakan hal yang sangat penting.  Hal tersebut disebabkan interdependensi antar suku, daerah bahkan bangsa yang semakin nyata dan tak dapat dihindari, baik dalam iptek, kebudayaan, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Karena itu, menjadi jelas dan terang benderang tentang urgensi kemampuan komunikasi antar budaya agar kepala daerah mampu mengkomunikasikan segenap gagasannya sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan.  Karena sebagus apa pun sebuah gagasan, jika dikomunikasikan dengan cara yang tidak baik, maka akan sulit untuk bisa diterima oleh masyarakat, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahpahaman.

Jabatan kepala daerah merupakan bentuk tata organisasi dan pemerintahan modern, dan sebagai amanah UU juga masyarakat.  Seorang Kepala daerah yang memiliki wawasan multikultural akan mampu memahami psikologis masyarakat dengan segala macam kompleksitasnya.