Membendung Radikalisme, Mahasiswa UIN Gelar Webinar Nasional

  • Admin Humas
  • Rabu, 07 Juli 2021
  • 3324 Tampilan
Tangkapan layar webinar HMP HKI UIN Raden Intan Lampung.

Mahasiswa diharapkan dapat membentengi diri dari radikalisme agama. Hal ini disampaikan oleh Wakil Dekan (WD) III Fakultas Syariah (FS) Dr Nur Nazli MH pada webinar nasional yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) Hukum Keluarga Islam (HKI), Rabu (7/7/2021).

Kegiatan ini mengusung tema Menghalau Radikalisme yang Merambah Dikalangan Mahasiswa. Hadir sebagai narasumber Kabid Penelitian dan Pengkajian FKPT Provinsi Lampung Dr Abdul Qodir Zaelani MA dan Pendiri NII Crisis Center yang juga merupakan mantan Komandan NII Ken Setiawan, serta dimoderatori oleh Yeyen Wansiska selaku Kabid Hukum HAM dan Advokasi HMP HKI.

Menurut Nurnazli, webinar ini sangat penting diikuti khususnya bagi mahasiswa agar memahami bahaya dari radikalisme.”Gerakan radikalime ini bisa menyusup ke lembaga pendidikan baik di tingkat dasar maupun perguruan tinggi. Maka kita harus kenali radikalisme agama ini, pola geraknya, serta bahayanya,” kata WD III yang mewakili Dekan FS ini.

Abdul Qodir Zaelani atau dikenal dengan AQZ memaparkan tentang bahaya radikalisme. Menurutnya, radikalime ada karena faktor pemahaman agama yang sempit, pemahaman agama yang sensitif dan faktor ekternal yaitu ekonomi sosial politik serta media sosial menjadi pemicu penyebaran paham radikal di masyarakat.

“Biasanya karakteristik kelompok radikal bersikap eksklusif, intoleran, memonopoli klaim kebenaran, playing victim, dan pandai bertaqiyyah. Kemudian suka menyebar hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi yang bertujuan untuk memecah belah dan mengadu domba,” papar AQZ.

Dia menyatakan, radikalisme sudah menyasar berbagai kalangan, termasuk mahasiswa yang dibuktikan dengan berbagai penelitian dari berbagai sumber. “Radikalisme menyasar mahasiswa karena mahasiswa adalah representasi dari rakyat, memiliki prastise di masyarakat,” lanjut AQZ.

Dosen FS UIN Raden Intan Lampung ini juga mengungkapkan, penyebaran ideologi radikal tersebut membutuhkan orang-orang pintar bukan hanya pintar secara akademik, namun juga memiliki soft skill seperti dalam membuat konten di website, buletin dan YouTube. “Sarana media sosial dianggap efektif, karena terdapat 150 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, sebagian besar merupakan generasi muda,” katanya.

AQZ menyampaikan solusi agar paham radikal tidak terus berkembang di kalangan mahasiswa dengan berbagai cara diantaranya yakni penguatan wawasan keagamaan yang berciri khas ke-Indonesia-an yaitu moderat (wasathiyyah), inklusif, damai, toleran dan rahmatan lil alamin.

“Penguatan nilai-nilai kebhinekaan dan toleransi, meningkatkan jiwa nasionalisme, membangun rasa persatuan dan kesatuan, saling hormat, saling sayang, dan saling menjaga. Kemudian tidak saling membenci dan tidak menyukai kekerasan. Serta menanamkan ukhuwwah islamiyah, wathanoniyyah, insaniyyah/basyariyyah,” tambah AQZ.

Kemudian narasumber kedua, Ken, menyampaikan bahwa paham radikalisme dan terorisme tidak dimonopoli oleh satu agama,  kelompok atau sekte tertentu, tapi radikalisme merupakan suatu paham yang menginginkan perubahan sosial politik dengan cara yang keras atau drastis.

Menurut Ken, mungkin karena di Indonesia mayoritas beragama Islam dan pelaku teroris banyak yang beragama Islam maka tercipta stigma seolah radikalisme dan terorisme identik dengan Islam. “Padahal radikalisme dan terorisme sejatinya adalah fitnah untuk agama Islam, karena rata-rata pelaku teroris mengaku beragama Islam,” ujar Ken.

Dia memaparkan, radikalisme atas nama agama sudah masuk ke semua lini masyarakat,  tidak pandang sisi ekonomi, pendidikan dan status sosial, bahkan artis dan kalangan ASN serta aparat TNI/POLRI juga ditenggarai sudah banyak yang terpapar. Dia menyebut data dari survei yang dilakukan oleh BNPT dan BIN bahwa 85 persen milenial berpotensi terpapar radikalisme.

“Itu karena usia muda rentan dan labil sedang pencarian jati diri.  Ditambah dengan media sosial yang gencar dimanfaatkan kelompok radikal,” jelas Ken.

Jumlah kelompok radikal menurut Ken tidak banyak,  tapi mereka secara aktif bergerak. Sementara yang mayoritas diam. “Kita yang waras diam. Jadi seolah-olah kelompok radikal mendominasi media sosial,” katanya.

Mantan Komandan NII ini mencontohkan, “Di grup WhatsApp misalnya 257 orang,  yang radikal paling hanya 2-3 orang saja, tapi yang 2-3 orang itu berisik sekali mengirimkan terus menerus konten hoaks, karena dibiarkan ya mereka semakin merajalela.”

Maka dari itu, Ken berpesan agar masyarakat hendaknya kritis dan tabayun,  cek dan ricek terhadap informasi yang diterima. “Jangan sampai menjadi korban hoaks atau bahkan menjadi pelaku hoaks, karena turut menyebarkan informasi yang belum jelas sumbernya,” tutup Ken. (Rls–NF/HI)