Intellectuality, Spirituality, Integrity

Meninjau Moderasi Beragama sebagai Basis Pengembangan Kurikulum untuk Perguruan Tinggi yang Inklusif Berwawasan Lingkungan

  • Admin Humas
  • Rabu, 05 Maret 2025
  • 200 Tampilan
Oleh : Prof. Dr. Hj. Nirva Diana, M.Pd

Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan Lampung
Oleh : Prof. Dr. Hj. Nirva Diana, M.Pd
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan Lampung

Isu dan problematika keberagaman, terutama dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, tetap menjadi tantangan yang belum terselesaikan. Meskipun konflik keagamaan berskala besar semakin jarang terjadi, gesekan antarumat beragama dalam skala kecil masih terus berlangsung. Data dari SETARA Institute mencatat bahwa terdapat 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, angka yang hampir sama dengan tahun sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya membangun masyarakat yang harmonis dan toleran masih menghadapi berbagai hambatan.

Di sisi lain, rendahnya kesadaran terhadap isu lingkungan semakin memperburuk kondisi sosial. Laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 mencatat bahwa indeks kesadaran lingkungan masyarakat Indonesia masih berada dalam kategori sedang, menandakan bahwa masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kepedulian terhadap keberlanjutan ekosistem. Dalam hal ini, institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi, memiliki peran strategis dalam membentuk paradigma moderasi beragama yang selaras dengan kepedulian terhadap lingkungan. Kurikulum pendidikan tinggi harus dirancang agar mampu menanamkan nilai-nilai toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, serta kesadaran ekologis yang tinggi pada mahasiswa.

Moderasi beragama sendiri dapat dijelaskan sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama. Moderasi beragama juga merupakan proses kehidupan yang dinamis dan berkelanjutan, hingga mencapai titik keseimbangan yang tidak ekstrem. Dalam membentuk moderasi beragama, terdapat empat indikator utama, yakni komitmen kebangsaan, anti kekerasan, sikap toleransi, dan penerimaan terhadap tradisi lokal. Konteks moderasi beragama dipandang relevan dengan kondisi saat ini, di mana keberagaman tidak hanya berkaitan dengan toleransi antara mayoritas terhadap minoritas atau tindakan ekstrem dalam beragama, tetapi juga dengan hilangnya pemahaman akan agama itu sendiri. Contohnya adalah tidak menjadikan nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup, ketidakpedulian terhadap kondisi bangsa, serta perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Hal ini juga mencakup pemahaman akan pentingnya penjagaan lingkungan. Seharusnya, sebagai individu yang beragama, masyarakat memiliki kesadaran dan andil dalam menjaga lingkungan, tetapi kenyataannya, banyak di antara mereka justru menjadi aktor penghancur lingkungan.

Integrasi antara moderasi beragama dan wawasan lingkungan dalam kurikulum pendidikan tinggi memiliki hubungan erat dalam perspektif etika dan tanggung jawab sosial. Banyak ajaran agama menekankan pentingnya keseimbangan dalam kehidupan, termasuk dalam menjaga harmoni sosial dan kelestarian alam. Islam, misalnya, mengajarkan konsep “rahmatan lil ‘alamin” yang berarti membawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Dalam ajaran Kristen, konsep “stewardship” mengajarkan umatnya untuk menjadi pengelola yang baik atas alam yang telah diberikan Tuhan. Sementara dalam Hindu dan Buddha, keseimbangan dan harmoni dengan alam merupakan bagian esensial dari kehidupan spiritual. Konsep-konsep ini dapat menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum yang menghubungkan nilai-nilai agama dengan kesadaran lingkungan.

Pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab besar dalam membekali mahasiswa dengan wawasan yang luas mengenai keberagaman dan lingkungan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan yang inklusif dan berbasis keberlanjutan dapat meningkatkan kesadaran sosial mahasiswa, membentuk karakter yang lebih adaptif terhadap pluralitas, serta menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan. Studi Pew Research Center (2021) mengungkapkan bahwa komunitas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi cenderung lebih peduli terhadap keberlanjutan lingkungan ketika ajaran agama mereka secara eksplisit mendukung konservasi alam. Hal ini mempertegas bahwa integrasi moderasi beragama dengan wawasan lingkungan dalam kurikulum pendidikan tinggi dapat menciptakan individu yang lebih bertanggung jawab secara sosial dan ekologis.

Dua aspek fundamental yang menjadi akar permasalahan dalam hal ini adalah pemahaman dan kesadaran. Kesadaran tidak akan tercapai tanpa adanya pemahaman yang memadai, begitu pula sebaliknya. Rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat, termasuk mahasiswa, terhadap isu lingkungan menjadi faktor utama yang memperburuk kondisi ekosistem. Banyak mahasiswa masih menganggap bahwa isu lingkungan adalah tanggung jawab pemerintah atau lembaga tertentu, tanpa menyadari bahwa individu juga memiliki peran krusial dalam menjaga keberlanjutan ekosistem. Hal ini terlihat dari masih maraknya penggunaan plastik sekali pakai, rendahnya partisipasi dalam program daur ulang, serta minimnya inisiatif dalam menerapkan pola hidup berkelanjutan. Sustainable Waste Indonesia (SWI) mencatat bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton sampah pada tahun 2022, dengan 18% di antaranya berasal dari plastik sekali pakai yang sebagian besar tidak terkelola dengan baik. Perguruan tinggi seharusnya menjadi pionir dalam perubahan perilaku ini, namun kenyataannya, banyak institusi pendidikan justru menjadi kontributor limbah dalam jumlah besar.

Untuk mengatasi tantangan ini, perguruan tinggi harus lebih aktif dalam membentuk kesadaran ekologis mahasiswa. Pendidikan tinggi harus mengajarkan keterkaitan antara keberagaman, keberlanjutan lingkungan, dan tanggung jawab sosial. Beberapa universitas di dunia telah menerapkan prinsip pendidikan berkelanjutan sebagai bagian dari kurikulum mereka. Universitas Wageningen di Belanda, misalnya, telah memasukkan kurikulum berbasis keberlanjutan dalam hampir semua program studinya, memastikan bahwa mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu mendapatkan pemahaman mendalam tentang isu lingkungan. Pendekatan seperti ini dapat diadopsi oleh perguruan tinggi di Indonesia untuk menciptakan generasi yang lebih peduli terhadap lingkungan, baik dalam lingkup akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Lain daripada itu, perguruan tinggi sejatinya memiliki tiga kewajiban yang menjadi pedoman penyelenggarannya. Tiga kewajiban ini dikenal sebagai Tridharma Perguruan Tinggi yang terdiri atas Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Dalam pelaksanaannya tiga dharma ini akan diintegrasikan dengan nilai dan muatan khusus masing-masing universitas, sehingga menjadi penciri atau keunggulan dibandingkan yang lain. Namun demikian pada kenyatannya masih banyak perguruan tinggi yang belum memperhatikan kondisi actual dan factual bangsa. Seharusnya perlu pelurusan visi dan juga misi termasuk dalam aspek tridharma yang mengakomodir kebutuhan saat ini, tidak hanya berfokus pada kompetisi antar perguruan tinggi.

Penulis pada tahun 2022 dan 2023 telah mengkaji problematika-problematika di atas dengan lingkup bukan hanya satu perguruan tinggi namun beberapa perguruan tinggi sekaligus. Pada tahun 2022 fokus kajian penulis mengenai integrasi moderasi beragama kedalam Tridharma perguruan tinggi, hasilnya tridharma terutama aspek Pendidikan menjadi salah satu yang paling tepat dalam pengintegrasian moderasi beragama dan sesuai dengan kebutuhan output universitas dalam bentuk lulusan. Kemudian pada tahun 2023 penelitian difokuskan pada upaya menjawab permasalahan bagaimana bentuk dan model implementasi moderasi beragama dalam aspek Pendidikan yaitu kurikulum. Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa integrasi moderasi beragama dalam kurikulum perguruan tinggi sudah diujicobakan beberapa perguruan tinggi keagamaan seperti UIN Raden Intan Lampung, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dari hasil analisis disimpulkan ada dua macam model integrasi kurikulum moderasi beragama di perguruan tinggi yaitu Model Insersi dan Model Kurikulum Khusus.

  1. Model Insersi Bermuatan Moderasi Beragama

Dalam model ini, nilai-nilai moderasi beragama dimasukkan ke dalam Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) dan tema perkuliahan di berbagai mata kuliah yang relevan, seperti Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, atau Etika Lingkungan. Selain itu, pendekatan ini juga diterapkan dalam tugas akademik, seminar, serta proyek penelitian yang berfokus pada hubungan antara keberagaman dan keberlanjutan. Model ini juga dapat diperluas dengan mengintegrasikan pembelajaran berbasis proyek (PBL), di mana mahasiswa diberikan tantangan nyata untuk menerapkan konsep moderasi beragama dalam komunitas dan lingkungan sekitar mereka. Selain itu, mahasiswa dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler berbasis lingkungan, seperti gerakan penghijauan kampus, pengelolaan limbah, serta pengabdian masyarakat yang berorientasi pada kelestarian lingkungan.

  1. Model Mata Kuliah Khusus Moderasi Beragama

Dalam model ini, perguruan tinggi mengembangkan mata kuliah khusus yang secara eksplisit membahas moderasi beragama dan keterkaitannya dengan isu-isu sosial, termasuk lingkungan. Mata kuliah ini dirancang dengan pendekatan multidisiplin, mencakup perspektif keagamaan, filsafat lingkungan, serta kebijakan publik terkait keberlanjutan. Selain diskusi teoretis, mahasiswa juga dapat diberi kesempatan untuk terlibat dalam penelitian terapan dan pengabdian masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk menerapkan konsep moderasi beragama dalam konteks nyata. Mata kuliah ini juga dapat melibatkan studi kasus dan kolaborasi dengan komunitas lokal agar mahasiswa dapat melihat langsung dampak dari praktik moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat.

Implementasi dan Tantangan

Implementasi kurikulum berbasis moderasi beragama dan wawasan lingkungan menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Salah satunya adalah resistensi dari kelompok tertentu yang menganggap bahwa pendidikan agama dan lingkungan adalah dua hal yang terpisah. Pandangan ini umumnya muncul dari pemahaman yang belum menyeluruh mengenai keterkaitan antara nilai-nilai agama dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan strategis untuk meyakinkan berbagai pihak tentang urgensi integrasi nilai-nilai tersebut.

Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah melalui dialog interdisipliner yang melibatkan akademisi, praktisi, serta pemuka agama. Pendekatan ini bertujuan untuk menghilangkan kesalahpahaman serta memperkuat pemahaman bahwa ajaran agama pada dasarnya mengandung prinsip-prinsip keberlanjutan dan kepedulian terhadap lingkungan. Dengan adanya diskusi yang inklusif, resistensi dapat diminimalisir, dan kesadaran mengenai pentingnya integrasi kedua konsep ini dalam kurikulum dapat lebih diterima.

Selain resistensi ideologis, keterbatasan sumber daya dan tenaga pengajar yang memiliki kompetensi dalam bidang moderasi beragama dan wawasan lingkungan juga menjadi kendala. Banyak tenaga pendidik belum mendapatkan pelatihan yang memadai mengenai cara mengajarkan konsep moderasi beragama dan kesadaran lingkungan secara efektif di ruang kelas. Solusi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pelatihan bagi tenaga pendidik serta memperbanyak kolaborasi dengan lembaga yang berfokus pada keberagaman dan keberlanjutan lingkungan. Dengan pelatihan yang sistematis, para pendidik dapat lebih percaya diri dalam menyampaikan materi serta mampu menghubungkan kedua konsep ini dengan contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari.

Dari sisi kebijakan, pemerintah perlu lebih aktif dalam mendorong regulasi yang mendukung implementasi kurikulum ini. Regulasi yang jelas dapat memberikan pedoman bagi institusi pendidikan tinggi dalam merancang dan menerapkan kurikulum berbasis moderasi beragama dan wawasan lingkungan. Dukungan dalam bentuk pendanaan, program insentif bagi institusi yang menerapkan konsep ini, serta supervisi dalam pelaksanaannya menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Kebijakan yang mendukung juga harus mencakup pengembangan bahan ajar yang sesuai, peningkatan fasilitas pembelajaran berbasis lingkungan, serta dorongan terhadap penelitian dan pengabdian masyarakat yang berfokus pada integrasi nilai-nilai agama dan keberlanjutan.

Pengembangan kurikulum berbasis moderasi beragama yang inklusif dan berwawasan lingkungan merupakan langkah penting dalam menciptakan generasi dengan pemahaman keagamaan yang moderat, toleran, serta peduli terhadap lingkungan. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk pola pikir mahasiswa yang tidak hanya berorientasi pada prestasi akademik tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan ekologis. Oleh karena itu, institusi pendidikan perlu menerapkan berbagai metode pembelajaran yang dapat meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap isu keberagaman dan lingkungan, seperti pendekatan berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran berbasis komunitas (community-based learning), serta pemanfaatan teknologi dalam pendidikan lingkungan.

Dalam konteks pembelajaran berbasis proyek, mahasiswa dapat diberi tugas untuk mengembangkan solusi nyata terhadap permasalahan lingkungan yang ada di sekitar mereka dengan tetap memperhatikan aspek moderasi beragama. Misalnya, mereka dapat merancang kampanye kesadaran lingkungan yang mengintegrasikan nilai-nilai agama sebagai dasar moral dalam menjaga alam. Sementara itu, pembelajaran berbasis komunitas memungkinkan mahasiswa untuk terjun langsung ke masyarakat dan memahami bagaimana keberagaman serta tantangan lingkungan berdampak pada kehidupan sosial. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya memperoleh pemahaman teoritis, tetapi juga keterampilan praktis dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan.

Dengan menerapkan konsep moderasi beragama dalam kurikulum, perguruan tinggi dapat menjadi motor penggerak dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan berkelanjutan. Dalam jangka panjang, pendekatan ini tidak hanya menghasilkan lulusan yang lebih adaptif terhadap dinamika sosial dan lingkungan, tetapi juga mampu berkontribusi dalam menciptakan kebijakan dan inovasi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, integrasi moderasi beragama dan wawasan lingkungan dalam pendidikan tinggi menjadi salah satu solusi strategis untuk menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks.

Namun, keberhasilan implementasi kurikulum ini juga bergantung pada dukungan dari berbagai pihak, termasuk mahasiswa, dosen, serta pemangku kebijakan. Kampus harus membangun budaya akademik yang mendukung nilai-nilai moderasi dan keberlanjutan, misalnya dengan mengadopsi kebijakan ramah lingkungan seperti pengurangan penggunaan plastik, efisiensi energi, serta pengelolaan limbah yang lebih baik. Selain itu, mahasiswa harus diberikan ruang untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang mendukung pemahaman mereka mengenai moderasi beragama dan keberlanjutan, seperti program relawan lingkungan, kegiatan lintas agama, serta seminar dan diskusi akademik yang membahas isu keberagaman dan ekologi secara lebih mendalam.

Pada akhirnya, upaya mengintegrasikan moderasi beragama dan wawasan lingkungan dalam kurikulum pendidikan tinggi adalah investasi jangka panjang yang akan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Dengan komitmen yang kuat dari berbagai pemangku kepentingan, diharapkan institusi pendidikan tinggi di Indonesia dapat menjadi pionir dalam membangun generasi yang tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan lingkungan yang tinggi. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat memainkan peran strategis dalam membentuk masa depan yang lebih harmonis, inklusif, dan berkelanjutan.