Sikap Moderat Beragama di Tengah Pandemi

  • Admin Humas
  • Kamis, 14 Mei 2020
  • 53591 Tampilan
Rektor UIN Prof. Mukri saat menyampaikan materi pada Kajian Virtual, Kamis (14/5).

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah,” (QS. Al-Hadid: 22).

Demikian salah satu sitiran ayat Al-Qur’an yang dipaparkan Rektor UIN Prof Dr Moh Mukri MAg pada kajian virtual yang diselenggarakan Pusat Kajian Moderasi Beragama (PKMB) UIN Raden Intan Lampung. Kajian yang berlangsung live di aplikasi Zoom dan YouTube UIN pada Kamis (14/5/2020) pukul 10.00-12.00 WIB, mengangkat tema Beragama Pada Masa Covid-19.

Selain Rektor, bergabung juga sebagai narasumber yakni Prof Noorhaidi Hasan MPhil PhD (Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/Pengkaji Gerakan Islam Internasional) dan A Saifuddin Zuhri (Kandidat Doktor di School of Politics and International Studies, Central China Normal University (CCNU), China/Wakil Rois Syuriyah PCINU Tiongkok).

Kajian ini dimoderatori oleh Siti Wuriyan MSosI (Dosen UIN Raden Intan Lampung). Hadir dalam kajian tersebut sekitar 170 peserta di apllikasi Zoom yang berasal dari berbagai daerah dan luar negeri seperti Singapura.

Prof Mukri menjelaskan, Islam moderat merupakan sikap keberagamaan Islam yang mengambil jalan tengah (wasath) antara dua paham atau pemikiran yang ekstrem. Sikap tersebut merupakan hasil dialektika pemahaman atau pemikiran Islam yang ada sebelumnya.

Dalam kondisi pandemi, Dia menyampaikan sikap moderat dalam beragama diantaranya yaitu pertama,  bersabar menghadapi musibah Covid-19. “Sabar merupakan manifestasi keyakinan teologis (akidah) yang diimplementasikan dalam sikap (Akhlak) menghadapi praksis kehidupan sehari-hari,” terangnya.

Kedua, mengikuti anjuran pemerintah, pakar dan pihak berwenang dalam penanganan Covid-19. Ketiga, mengutamakan keselamatan manusia sesuai dengan kaidah fikih Dar’ul Mafasid Aula Min Jalbil Masholih atau menghilangkan kemudharatan itu harus didahulukan ketimbang mengambil manfaat.

Keempat, tolong menolong dalam mengatasi Covid-19 dan dampaknya. “Tolong menolong harus ikhlas tanpa dibatasi suku, agama dan status sosial. Ini merupakan perwujudan dalam memperkokoh ukhuwah Islamiyah, Basyariyah, dan Wathoniyah,” tegasnya.

Rektor mengatakan, pasti ada hikmah di balik peristiwa bencana tersebut. Dia juga mengajak seluruh elemen masyarakat menurunkan ego masing-masing dan menerapkan protokol pencegahan infeksi Covid-19.

Peserta kajian virtual Beragama Pada Masa Covid-19.

Prof Noorhaidi Hasan menyampaikan bahwa salah satu hikmah pandemi ini, Bumi memiliki waktu untuk istirahat dan mengembalikan keseimbangannya. Menurutnya, eksploitasi alam yang berlebihan membahayakan kehidupan manusia.

Dia menjelaskan, keserakan bukan hanya dalam ekploitasi sumber daya alam atau ekonomi, tetapi juga politik. “Keserakahan itu keinginan manusia untuk dominan, tidak memberikan ruang kepada orang lain. Termasuk dunia Islam,” papar Prof Noorhaidi.

“Doktrin jihad mengalami kristalisasi. Awalnya makna jihad itu sifatnya defensif, pembelaan diri, tetapi berubah menjadi offensif. Seluruh dunia digambarkan dalam situasi perang. Ini berbahaya,” lanjutnya.

Direktur Pascasarjana UIN Yogyakarta ini juga mengapresiai pembentukan PKMB UIN Raden Intan Lampung. “Kita (Bangsa Indonesia) tentu tidak rela untuk tercabik-cabik seperti di Syria dan negara konflik lainnya. Makanya kita harus melakukan kuda-kuda, seperti yang dilakukan UIN Lampung membentuk Pusat Kajian Moderasi Beragama,” ujarnya.

Meminjam istilah Cliford Gerts, agama yang menonjol saat ini adalah agama yang performatif, yang hanya ditonjol-tonjolkan terhadap orang lain. “Basic agama adalah spiritualisme. Agama yang spiritual itu adalah agama yang indah, yang berjalan dengan tradisi, lokalisme, dan menerima keberagaman. Seperti alam back to nature, agama juga harus back to basic,” tambahnya.

Sementara A Saifuddin Zuhri menyampaikan kondisi beragama dan umat muslim di China. Dia juga menjelaskan secara singkat tentang sejarah muslim di China.

Terkait dengan virus Covid-19 yang berasal dari Wuhan, China, Zuhri mengatakan bahwa saat pertama kasus itu merebak, umat muslim di sana bersolidaritas dengan menggalang dana dan memberi bantuan. “Umat muslim di China sangat moderat dan tak ada egoisme dalam beribadah,” katanya.

Dari pertengahan Januari 2020 sampai saat ini, masjid di China juga ditutup untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. “Disetiap masjid di China tertulis identitas negara tentang sosialisme dan ucapan cinta tanah air dan agama. Atau kita kenal dengan ungkapan hubbul wathon minal iman,” pungkasnya.  (NF/HI)