Spirit Islam dalam Perjuangan Wan Abdurachman
- Admin Humas
- Selasa, 18 Maret 2025
- 279 Tampilan

Oleh Abd Rahman Hamid
Dosen Sejarah UIN Raden Intan Lampung
Salah satu tokoh Islam Lampung yang terabaikan dalam sejarah Lampung ialah Wan Abdurachman (1901-1969). Padahal, perannya sangat penting dalam perjuangan bangsa Indonesia di tingkat lokal dan nasional.
Wan Abdurachman, lahir di Teluk Betung tahun 1901, merupakan buah hati dari pasangan Wan Muhammad Arsyad dan Incik Roffiah. Dia adalah anak pertama, dan empat saudaranya masing-masing Wan Incik Khadijah, Wan Incik Zubaidah, Wan Abdul Somad, dan Wan Affandy. Ayahnya adalah anak kedua Wan Abbas, diaspora Melayu dari Kesultanan Terengganu abad ke-19, yang makamnya berada di Desa Kotajawa Kecamatan Way Khilau Kabupaten Pesawaran.
Wan Abdurachman menikah dengan Incik Aisah dari Singapura Kalianda. Karena tidak dikaruniai anak, mereka kemudian mengadopsi dua anak kerabatnya masing-masing Daeng Taufik, putra Wan Incik Zubaidah, dan Wan Incik Tjomsijah, putri Wan Yusuf. Anak keduanya masih hidup dan sekarang tinggal di Jakarta.
Dia termasuk satu dari sedikit tokoh Islam Lampung yang terkoneksi pikirannya dengan Sang Guru Bangsa, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Tokoh terakhir ini dikenal sebagai guru para pendiri bangsa seperti Soekarno, SM Kartosoewirdjo, Semaun, dan Darsono. Tjokroaminoto adalah tokoh utama Sarekat Islam (SI), yang pada masanya SI berkembang pesat menjadi organisasi pergerakan nasional massa pertama di Indonesia dengan anggota lebih kurang dua juta orang.
Sejak masa mudanya, Wan Abdurachman telah membaca ide-ide Tjokroaminoto, terutama ketika ia aktif sebagai anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Teluk Betung sejak 1919. Pada tahun 1930, ia tercatat sebagai Ketua PSII Lampung membawahi 15 cabang PSII di seluuruh Keresidenan Lampung.
Wan Abdurachman khatam membaca buku “ideologi” PSII karya Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, yang terbit pada tahun 1924. Buku ini menjadi bacaan wajib semua aktivis PSII sejak masa pergerakan nasional hingga kemerdekaan. Ide buku ini melandasi pemikiran politik dan perjuangannya di Dewan Konstituante (1956-1959).
Wan Abdurachman sangat peduli terhadap kelangsungan perjuangan PSII. Ketika anggota PSII ditahan dan diadili oleh aparat pemerintah kolonial, ia tampil membela mereka di hadapan pengadilan kolonial di Palembang. Tindakannnya sangat berani, ketika pemerintah bertindak represif terhadap semua aktivis pergerakan nasional yang non-kooperatif terhadap pemerintah. Pada saat itu, PSII menempuh jalur non-kooperasi. Jadi, apa dilakukannya merupakan satu wujud perlawanan terhadap rezim kolonial. Ini menjadi satu bukti nasionalisme Islam Wan Abdurachman.
Bukti nasionalisme berikutnya tampak pada awal kemerdekaan. Dia merupakan tokoh Lampung yang terkemuka menerima berita proklamasi secara resmi dari Mr. Abdul Abbas, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan dari Lampung, pada 24 Agustus 1945. Dia juga tercatat sebagai Bupati Istimewa Lampung, selain Ketua KNID Lampung (1945-1947).
Pada masa revolusi, ketika Belanda berupaya menjajah kembali bangsa Indonesia, Wan Abdurachman berusaha mempertahankan kemerdekaan. Ia tercatat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertahanan Daerah Lampung dan Palembang Selatan (1947), mendampingi ketuanya, Kolonel Syamaun Gaharu, yang juga Komandan Garuda Hitam.
Guna mengisi kemerdekaan Indonesia, Wan Abdurachman menjadi anggota dan kemudian ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sumatera Selatan di Palembang (1950-1951). Dalam posisinya sebagai ketua, ia tercatat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta.
Puncak karir politiknya setelah pemilihan umum pertama 1955. Salah satu tujuan pemilu adalah memilih anggota Konstituante. Wan Abdurachman menjadi anggota Konstituante dari daerah pemilihan Jawa Barat, perwakilan partai PSII.
Sehari sebelum pelantikan anggota Konstituante oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956, Wan Abdurachman dipilih sebagai Ketua Fraksi PSII di Konstituante. Tugas ini dijalankan sampai sidang terakhir Konstituante pada 2 Juni 1959. Pada 5 Juli 1959, presiden membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.
Selama menjadi anggota Konstituante, ia secara konsisten memperjuangan ideologi sosialisme Islam, sebagaimana dirumuskan Tjokroaminoto pada 1920an. Jadi, kalau Tjokroaminoto berperan meletakkan ideologi sosialisme Islam di masa pergerakan nasional, Wan Abdurachman memperjuangkannya sebagai ideologi negara Indonesia pada masa kemerdekaan. Namun, usaha ini gagal karena Konstituante dibubarkan oleh pemerintah pada 5 Juli 1959.
Berdasarkan rihlah tersebut, awal Oktober 2024, UIN Raden Intan Lampung mengajukan tokoh ini kepada Dinas Sosial Provinsi Lampung sebagai calon Pahlawan Daerah. Pada akhir bulan itu, setelah membaca naskah akademik dan dokumen-dokumen pendukungnya, Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan Daerah (TP2GD) mengeluarkan rekomendasi bahwa tokoh ini layak menjadi Pahlawan Daerah.
Selanjutnya akan disidangkan oleh Dewan Gelar Daerah (DGD) Provinsi Lampung, dan hasilnya kelak diajukan kepada Gubernur. Kalau hasilnya sama dengan rekomendasi TP2GD, maka Wan Abdurachman dapat ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung. Bahkan, bila dibaca riwayat perjuangannya dari tingkat lokal sampai nasional, tokoh ini juga layak menjadi calon Pahlawan Nasional.
Terkait usaha yang disebut terakhir, perlu kerjasama dengan pemerintah Kota Bandar Lampung, tempat lahirnya tokoh ini. Usaha itu pernah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dengan UIN Lampung dalam penelitian dan pengusulan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Ahmad Hanafiah (1905-1947) pada 2022-2023. Usaha ini berhasil, sehingga Lampung punya satu Pahlawan Nasional lagi, setelah 36 tahun hanya punya satu, Raden Intan. Ini menjadi kontribusi penting UIN bagi sejarah Lampung di panggung nasional.
Apakah pemerintah Kota Bandar Lampung akan mengambil peran dalam proses kelahiran Pahlawan Nasional ketiga dari Provinsi Lampung? Biarlah waktu yang akan menjawabnya.